Mengenal Pentingnya Ilmu Rijal

ilmu rijalIlmu Rijal adalah Ilmun Yubhats ‘an ahwȃli rawwȃtilhadȋts allati laha dakhlun fi jawȃzi qabȗli qaulihim wa ‘adamihi ( Ilmu yang membahas keadaan rawi hadits yang mana dari keadaan rawi tersebut bisa dinilai kebolehan menerima atau tidak menerima perkataannya), jadi ilmu ini membahas keadaan para rawi hadits dari sisi kehidupan, guru-gurunya, murid-muridnya, zamannya dan juga membahas tentang sifat-sifatnya dari sisi keadilan dan ketidak adilannya, ketsiqahan dan ketidaktsiqahannya dll. Ilmu rijal dan ilmu dirayah merupakan dua ilmu yg saling berkaitan satu sama lainnya yang saling berkaitan kedua-duanya, dan memiliki tujuan yang sama yakni mengetahui hakikat hadits. Perbedaan diantara keduanya adalah, didalam dirayah dipelajari sanad riwayat yakni runutan atau rantai rawi yg ada dalam riwayat seperti mengetahui sanadnya terhubung, terputus, sahih, dhaif, mursal dll, akan tetapi ilmu rijal membahas satu persatu rawi yg dimaksud.
Sebagian pihak dengan kesengajaannya dan ketidaksengajaannya menganggap ketidakperluan dalam memperdalam ilmu rijal, hal ini dilatarbelakangi oleh ketidaktahuan mereka bahkan sebagian disebabkan oleh kepentingan pribadi tertentu dalam mengambil hadits yg sesuai dengan hawa nafsunya. Oleh sebab itulah para ulama menolak anggapan bathil tersebut dan memberikan argumentasi yg kuat akan kebutuhan setiap pelajar dan orang-orang yg ingin memahami hadits terhadap ilmu rijal tersebut, bahkan dalil yg ada menunjukkan bahwa pengetahuan ilmu rijal adalah suatu pengetahuan yg wajib bagi setiap orang yang ingin menilai sebuah hadits.
Berikut beberapa dalil dari pada ulama sebagai dasar pentingnya ilmu rijal :
A. Larangan beramal tanpa ilmu dan yakin
Banyak sekali ayat alquran yang menceritakan mengenai larangan beramal dengan tanpa ilmu dan yakin, dengan mengikuti orang-orang yang mengada-ada.

قُلْ أَرَأَيْتُمْ ما أَنْزَلَ اللهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَراماً وَ حَلالاً قُلْ آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى اللهِ تَفْتَرُونَ
Katakanlah, “Apakah kamu melihat rezeki yang telah diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.” Katakanlah, “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (untuk berbuat demikian) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (Yunus :59)
وَلا تَقْفُ ما لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya…(alisra:36)
وَما يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلاَّ ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لا يُغْني‏ مِنَ الْحَقِّ شَيْئاً إِنَّ اللهَ عَليمٌ بِما يَفْعَلُونَ
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja, padahal sesungguhnya persangkaan itu tak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.( Yunus: 36)

Beberapa ayat diatas secara sarih menerangkan larangan bagi kita mengikuti sesuatu yg belum yakin kebenarannya, khabar yg berasal dari para pembohong atau yang belum jelas ketsiqahannya tidak mampu untuk menumbuhkan keyakinan pada diri kita akan khabar yang dibawanya, oleh sebab itu secara taklif syar’i kewajiban kita untuk tidak mengikuti yang belum sampai derajat yakin terhadap benarnya khabar yg disampaikan.
Dan banyak sekali riwayat yang menjelaskan mengenai larangan mengikuti sesuatu dengan tanpa ilmu atau yakin akan kebenaran sesuatu telah dijelaskan didalam kitab wasail assyiah bab qadha.
B. Kewajiban Memeriksa khabar Fasik
Disebutkan didalam surat alhujurat mengenai kewajiban memeriksa khabar fasik, yang mana ayat ini digunakan didalam masalah ushul fiqih sebagai hujjah khabar tsiqat dan ketidaan hujjah khabar gheir tsiqat.
يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا إِنْ جاءَكُمْ فاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصيبُوا قَوْماً بِجَهالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلى‏ ما فَعَلْتُمْ نادِمينَ
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa pengetahuan, lalu kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (Al-Hujurat:6)
Ayat ini bisa kita lihat dalam mafhum al wasf ( sifat) bisa pula dilihat dengan mafhum Asy-Syart ( syarat), mafhum syarat lebih banyak digunakan dalam menggunakan dalil ini disebabkan pada hakikat syartiah terdapat padanya mafhum yang terkandung. Mari kita urai dalilnya. Objek perintah adalah thabi’i annaba (berita itu sendiri) , syaratnya adalah maji alfȃsiq (kedatangan orang fasik), dan hukumnya adalah kewajiban tabayyun (memeriksa), sehingga ketika syarat tidak terpenuhi yakni ketiadaan fasik yang membawa berita tersebut maka tidak adanya kewajiban dalam memeriksa, disinilah dalil bagi khabar yang dibawa orang adil dan tsiqat yang mana menurut mafhum ayat sudah cukup untuk digunakan hadits mereka, tanpa perlu untuk diperiksa kembali, sebab hadits tersebut mampu mengantarkan kita derajat yakin, sedangkan orang fasik yang belum memenuhi derajat yakin ini wajib diperiksa.
Tabayyun disini bisa dilihat dari dua makna , pertama secara makna fi’il lȃzim (yang tak butuh objek) seperti halnya tabayyana Asysyaiu’ ( sudah jelas sesuatu itu). Disini diartikan sebagai sesuatu yang jelas (dzuhur). Kedua bermakna muta’addi ( membutuhkan objek) dengan makna ad-dzuhur alaihi (mengetahui) atau jikalau dalam wilayah kata perintah , yakni perintah untuk diketahui dengan jelas, dari hal itu “tabayyanuu” disini diartikan pula sebagai “tatsabbatuu” artinya perintah untuk menetapkan atau memastikan.
Dalam hal ini ada dua tafsir dalam memahami ayat dengan mafhum syarat:
1. Disini dilihat bahwa kalimat tabayyanuu antushibuu qauman bijahaalatin secara urfi -bukan secara terjemah literlek- sebagai kinayah dalam ketiadaan hujjah bagi khabar orang fasik secara mutlak. Sehingga secara mafhum kalau syaratnya tidak ada (datangnya orang fasik) yakni dengan datangnya orang adil maka hal ini kinayah secara mafhum sebagai hujjah orang adil dalam hal pemberitaan secara mutlak.
2. Tafsir kedua melihat bahwa objek perintah itu : berita/ khabar, dan syaratnya : kedatangan orang fasik, hukumnya : wajib memastikan, dalam hal ini maka khabar dari orang fasik bisa digunakan dengan syarat pemastian, sedangkan secara mafhum khabar orang adil tidak bersyarat dengan pemastian, sehingga khabar org adil secara mutlak sebagai hujjah, sedangkan khabar orang fasik disyaratkan pemastian dan pemeriksaan secara mutlak baik itu dari sisi shudur ( munculnya khabar) maupun dari sisi isi khabar. Adapun urutan pertama pemastian dan pemeriksaan adalah dari sisi munculnya khabar terlebih dahulu dan hal ini bisa kita lihat dari sisi dipercaya atau tidaknya sang pembawa berita atau dalam bahasa lain apakah seseorang itu tsiqah dalam memindahkan berita kepada kita atau justru tidak tsiqah? Oleh sebab itulah disini kelaziman bagi kita untuk memeriksa ketsiqahan pembawa berita. Karena kalau kita tidak memeriksanya maka apa gunanya kewajiban fatabayyanuu ( kewajiban memeriksa dan memastikan tadi).
Jikalau ada orang yang mengatakan bahwa pemeriksaan itu hanya kepada berita bukan kepada pembawa berita, kami menjawab bahwa, tidak ada keterangan didalam ayat yang mengatakan takhshish (pengkhususan) tabayyun kepada khabar saja, bahkan jikalau dilihat dari sisi bentuk ayatnya yang dijadikan syarat itu adalah kedatangan fasik bukan kedatangan berita, jadi kata in jaakum faasikun bukan in jaakum nabaaun, sehingga seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa syaratnya bukan berita tetapi kedatangan orang fasik, dan sasaran pemeriksaan adalah orang fasik tersebut, dan hal ini sesuai dengan siyaq jumlah alayah (bentuk kalimat ayat).
Kesimpulannya adalah :
1. Dengan tafsiran pertama maka khabar orang adil secara mutlak adalah hujjah dan khabar orang fasik secara mutlak bukan hujjah, kelazimannya karena ada perintah tabayyun maka kewajiban bagi kita dalam melihat berita untuk meneliti keadilan seseorang dulu sebelum menerima berita.
2. Dengan Tafsiran kedua, maka khabar orang Adil tanpa syarat pemeriksaan adalah hujjah, dan khabar org fasik adalah hujjah dengan syarat sudah diperiksa ketsiqahannya dan ketidak tsiqahannya, kelazimannya bagi kita adalah wajib memeriksa ketsiqahan seseorang yang fasik, atau makna lainnya wajib memeriksa ketsiqahan khabar yang belum pasti keadilannya.
3. Dengan tafsiran pertama dikatakan bahwa setiap orang adil pasti tsiqah, dan setiap orang fasik tidak tsiqah, dengan tafsiran kedua setiap orang adil tsiqah, dan tidak setiap orang fasik tsiqah.

C. Keberadaan Riwayat Ahlulbait as yang menunjukkan kewajiban merujuk kepada orang tsiqah dan melarang mengambil orang tidak tsiqah dan kazzab (pembohong).
1) Hadits secara umum
وَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْحَمِيدِ عَنْ عَمِّهِ عَبْدِ السَّلَامِ بْنِ سَالِمٍ عَنْ رَجُلٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع قَالَ: حَدِيثٌ‏ فِي‏ حَلَالٍ‏ وَ حَرَامٍ‏ تَأْخُذُهُ مِنْ صَادِقٍ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَ مَا فِيهَا مِنْ ذَهَبٍ وَ فِضَّةٍ.
Wasail Asysyi’ah : jilid 28, hal 98
Dari Muhammad ibn Abdilhamȋd… dari Abi Abdillah as bersabda : Mengambil hadits mengenai halal dan haram dari orang yang shadiq ( terpercaya) lebih baik dari dunia dan segala isinya semisal emas dan perak.
الشَّيْخُ الْمُفِيدُ فِي الْإِخْتِصَاصِ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ‏ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ الصَّفَّارِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْحَمِيدِ عَنْ عَبْدِ السَّلَامِ بْنِ سَالِمٍ عَنْ مُيَسِّرِ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ قَالَ قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ ع: حَدِيثٌ يَأْخُذُهُ‏ صَادِقٌ‏ عَنْ‏ صَادِقٍ‏ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَ مَا فِيهَا
Mustadrak Alwasȃil wal Mustanbith Almasȃil : jilid 17, hal. 298 , atau di biharul anwar : jilid 2, hal.150. atau dalam ikhtishash.
Syeikh Almufȋd didalam kitab ikhtishash dari muhammad ibn Alhasan… berkata Abu Abdillah as : hadits yang diambil dari shȃdiq ‘an shȃdiq ( orang terpercaya dari orang terpercaya) lebih baik dari dunia dan seisinya.

وَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ النَّضْرِ عَنْ عَمْرِو بْنِ شِمْرٍ عَنْ جَابِرٍ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ ع قَالَ: قَالَ لِي‏ يَا جَابِرُ وَ اللَّهِ‏ لَحَدِيثٌ‏ تُصِيبُهُ‏ مِنْ صَادِقٍ فِي حَلَالٍ وَ حَرَامٍ خَيْرٌ لَكَ مِمَّا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ حَتَّى تَغْرُبَ.
Wasail As-Syiah : Jilid 27, hal.98
Dari Ayahnya dari Ahmad Ibn Annadhr… dari Abi Ja’far as bersabda : telah berkata ayahku ( imam Bȃqir as) Wahai Jȃbir demi Allah hadits yang diambil dari shȃdiq (orang terpercaya) didalam masalah halal dan haram lebih baik bagimu dari apa yang mana matahari menerangi padanya tampai terbenam ( kinayah untuk dunia dan seisinya).
مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْحُسَيْنِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى عَنْ صَفْوَانَ بْنِ يَحْيَى عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ عَنْ عُمَرَ بْنِ حَنْظَلَةَ قَالَ: سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ع عَنْ رَجُلَيْنِ مِنْ أَصْحَابِنَا بَيْنَهُمَا مُنَازَعَةٌ فِي دَيْنٍ أَوْ مِيرَاثٍ فَتَحَاكَمَا إِلَى أَنْ قَالَ فَإِنْ كَانَ كُلُّ وَاحِدٍ اخْتَارَ رَجُلًا مِنْ أَصْحَابِنَا فَرَضِيَا أَنْ يَكُونَا النَّاظِرَيْنِ فِي حَقِّهِمَا وَ اخْتَلَفَا فِيمَا حَكَمَا وَ كِلَاهُمَا اخْتَلَفَا فِي حَدِيثِكُمْ‏ فَقَالَ الْحُكْمُ‏ مَا حَكَمَ‏ بِهِ أَعْدَلُهُمَا وَ أَفْقَهُهُمَا وَ أَصْدَقُهُمَا فِي الْحَدِيثِ وَ أَوْرَعُهُمَا …
Wasail as-Syiah : Jilid 27, hal.106
Muhammad Ibn Ya’qub dari…Umar Ibn Handzalah, berkata : aku bertanya kepada Aba Abdillah as mengenai dua laki-laki dari ashab kita (syiah), dari keduanya terdapat perbedaan dalam masalah agama, atau dalam masalah waris… Imam as berkata: Hukum yang wajib diambil adalah yang paling adil dari keduanya, dan lebih faqih dari keduanya, dan lebih dipercaya ( asdaq) dari keduanya dalam menyampaikan hadits dan lebih warak…

2) Hadits secara Khusus
وَ عَنْهُ عَنْ سَعْدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ الْوَلِيدِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ الْمُسَيَّبِ الْهَمْدَانِيِّ قَالَ: قُلْتُ لِلرِّضَا ع شُقَّتِي بَعِيدَةٌ وَ لَسْتُ أَصِلُ إِلَيْكَ فِي كُلِّ وَقْتٍ فَمِمَّنْ آخُذُ مَعَالِمَ دِينِي قَالَ مِنْ‏ زَكَرِيَّا بْنِ‏ آدَمَ‏ الْقُمِّيِّ- الْمَأْمُونِ عَلَى الدِّينِ وَ الدُّنْيَا

Wasail As-Syiah : jilid 27, hal 146
Dari dia dari sa’din dari… berkata ; aku bertanya kepada Ar-Ridha as daerahku jauh ( darimu) dan aku tidak bisa di setiap waktu untuk menemuimu maka dari siapa saya bisa mendapatkan pengajaran agama, Imam as berkata : dari Zakaria ibn Adam Alqummi- dia itu TERPERCAYA dalam masalah agama dan dunia.

محمد بن مسعود، قال: حدثني محمد بن نصير، قال: حدثنا محمد ابن عيسى، قال: حدثني عبد العزيز بن المهتدي القمي، قال محمد بن نصير: قال محمد بن عيسى، و حدث الحسن بن علي بن يقطين، بذلك أيضا، قال، قلت لأبي الحسن الرضا عليه السّلام: جعلت فداك اني‏ لا أكاد أصل‏ إليك‏ أسألك عن كل ما أحتاج اليه من معالم ديني، أ فيونس بن عبد الرحمن ثقة آخذ عنه ما احتاج اليه من معالم ديني؟ فقال: نعم.
Rijal AlKesyi: Jilid 2, hal 784
Muhammad ibn Mas’ȗd berkata :…aku bertanya kepada Abu Alhasan Ar-Ridha as : aku jadikan jiwaku sebagai tebusanmu, sesunggunya aku tidak bisa untuk bertemu denganmu untuk mempertanyaan seluruh apa yang aku perlukan dari masalah pengajaran agama, lalu apakah Yunus ibn Abdurrahman itu seorang TSIQAH yang mana aku boleh mengambil darinya (riwayat) apa yang aku butuhkan dari pengajaran agama, Imam as berkata : ya.

مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ و مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيى‏ جَمِيعاً، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَعْفَرٍ الْحِمْيَرِيِّ، قَالَ:
اجْتَمَعْتُ‏ أَنَا و الشَّيْخُ أَبُو عَمْرٍو- رَحِمَهُ اللَّهُ‏ – عِنْدَ أَحْمَدَ بْنِ إِسْحَاقَ، فَغَمَزَنِي‏ أَحْمَدُ بْنُ إِسْحَاقَ أَنْ أَسْأَلَهُ عَنِ الْخَلَفِ‏ ، فَقُلْتُ لَهُ: يَا أَبَا عَمْرٍو، إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَسْأَلَكَ عَنْ شَيْ‏ء…وَ قَدْ أَخْبَرَنِي أَبُو عَلِيٍّ أَحْمَدُ بْنُ إِسْحَاقَ، عَنْ أَبِي الْحَسَنِ عليه السلام، قَالَ: سَأَلْتُهُ و قُلْتُ: مَنْ‏ أُعَامِلُ‏؟ أَوْ عَمَّنْ‏ آخُذُ؟ و قَوْلَ مَنْ أَقْبَلُ؟ فَقَالَ لَهُ‏: «الْعَمْرِيُّ ثِقَتِي؛ فَمَا أَدّى‏ إِلَيْكَ عَنِّي، فَعَنِّي يُؤَدِّي، و مَا قَالَ لَكَ عَنِّي، فَعَنِّي يَقُولُ؛ فَاسْمَعْ لَهُ و أَطِعْ؛ فَإِنَّهُ الثِّقَةُ الْمَأْمُون‏
Alkȃfi: jilid 2, hal.126
Muhammad ibn Abdullah dan Muhammad Ibn Yahya seluruhnya dari Abdullah ibn Ja’far Alhimyari, berkata (sampai hadits mengatakan) telah mengkhabarkan kepadaku Abu Ali Ahmad ibn Ishȃq, dari Abu Al-Hasan as, berkata, aku bertanya kepadanya, dan aku berkata : Apa yang harus kukerjakan? Atau darimana (hadits) harus aku ambil? Dan perkataan dari siapakah yang (bisa) aku terima? Imam as menjawab kepadanya : Al’Amri seorang TSIQAHku, dan apa yang dia sampaikan kepada kalian dariku , sesunggunya akulah yang menyampaikannya, dan apa yang dikatakan kepada kalian dariku, maka akulah sebenarnya yang mengatakannya, maka dengarlah dia, dan taatlah kepadanya, karena dia itu seorang TSIQAH YANG TERPERCAYA.

وَ فِي كِتَابِ إِكْمَالِ الدِّينِ وَ إِتْمَامِ النِّعْمَةِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عِصَامٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَعْقُوبَ عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ يَعْقُوبَ قَالَ: سَأَلْتُ مُحَمَّدَ بْنَ عُثْمَانَ الْعَمْرِيَّ أَنْ يُوصِلَ لِي كِتَاباً قَدْ سَأَلْتُ فِيهِ عَنْ مَسَائِلَ أَشْكَلَتْ عَلَيَّ فَوَرَدَ التَّوْقِيعُ بِخَطِّ مَوْلَانَا صَاحِبِ الزَّمَانِ ع- أَمَّا مَا سَأَلْتَ عَنْهُ أَرْشَدَكَ اللَّهُ وَ ثَبَّتَكَ إِلَى أَنْ قَالَ وَ أَمَّا الْحَوَادِثُ الْوَاقِعَةُ فَارْجِعُوا فِيهَا إِلَى رُوَاةِ حَدِيثِنَا فَإِنَّهُمْ حُجَّتِي عَلَيْكُمْ وَ أَنَا حُجَّةُ اللَّهِ‏ وَ أَمَّا مُحَمَّدُ بْنُ عُثْمَانَ الْعَمْرِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَ عَنْ أَبِيهِ مِنْ قَبْلُ فَإِنَّهُ‏ ثِقَتِي‏ وَ كِتَابُهُ‏ كِتَابِي‏.
Wasail As-Syiah : jilid ke 27, hal.140
Didalam kitab ikmȃluddin wa itmȃmunni’mah dari Muhammad ibn Muhammad ibn ‘ishȃm dari Muhammad ibn Ya’qȗb dari ishȃq ibn Ya’qȗb berkata : aku telah bertanya kepada Muhammad ibn ‘utsmȃn Al-‘Amri untuk mengirimkan surat kepadaku dengan jawaban dari pertanyaanku mengenai permasalahan yang menimpaku kemudian dia membawakan surat dengan tulisan maulana Shȃhib Azzamȃn as – dan apa-apa yang anda tanyakan mengenainya semoga Allah membantu anda, dan meneguhkan anda, (sampai dia mengatakan) dan permasalahan baru yang terjadi maka rujuklah hal itu kepada para perawi hadits kami sesungguhnya mereka adalah hujjahku atas kalian dan saya hujjatullah , dan (riwayat dari) Muhammad ibn ‘utsmȃn Al’Amri ra dari ayahnya sebelumnya ( maka ambillah) karena sesunggunya dia adalah TSIQAHku dan suratnya adalah suratku.

D. Keberadaan para pemalsu, pembohong dan penipu hadits didalam kitab hadits, yang mana Imam as menyuruh kita meninggalkannya.

1) Hadits secara umum, bisa anda rujuk didalam mustadrak alwasail bab tahrim al kizb alallah wa ala rasuulihi saw wa ala aimmah as.

أَبُو عَمْرٍو الْكَشِّيُّ فِي رِجَالِهِ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ خَالِدٍ الطَّيَالِسِيِّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ‏ بْنِ أَبِي نَجْرَانَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سِنَانٍ قَالَ قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ ع: إِنَّا أَهْلُ بَيْتٍ صَادِقُونَ لَا نَخْلُو مِنْ‏ كَذَّابٍ‏ يَكْذِبُ عَلَيْنَا وَ يُسْقِطُ صِدْقَنَا بِكَذِبِهِ عَلَيْنَا عِنْدَ النَّاس‏…
Mustadrak alwasail : jilid 9, hal 90

Abu Amri Alkesyi dari kitab rijalnya dari sa’di ibn abdillah … berkata Abu Abdillah as : Sesungguhnya kami Ahlulbait yang shȃdiqȗn ( yang benar dipercaya) dan kami tidak membiarkan pembohong yang membohongi atas nama kami dan menggugurkan kebenaran kami dengan kebohongannya kepada kami di tengah-tengah manusia…

الْحَسَنُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ شُعْبَةَ فِي تُحَفِ الْعُقُولِ، عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ ع: أَنَّهُ قَالَ فِي وَصِيَّتِهِ لِأَبِي جَعْفَرٍ مُحَمَّدِ بْنِ النُّعْمَانِ يَا ابْنَ النُّعْمَانِ إِنَّا أَهْلُ بَيْتٍ لَا يَزَالُ الشَّيْطَانُ يُدْخِلُ فِينَا مَنْ لَيْسَ مِنَّا وَ لَا مِنْ أَهْلِ دِينِنَا فَإِذَا رَفَعَهُ وَ نَظَرَ إِلَيْهِ النَّاسُ أَمَرَهُ الشَّيْطَانُ فَيَكْذِبُ عَلَيْنَا فَكُلَّمَا ذَهَبَ وَاحِدٌ جَاءَ آخَر

Mustadrak alwasail : jilid 9, hal 91

Alhasan ibn Ali ibn Syu’bah didlaam tuhaful’uqȗl dari Abu Ja’far as: sesungguhnya dia mengatakan : didalam wasiatnya kepada Abu Ja’far Muhammad ibn Nu’mȃn ya ibn Nu’mȃn sesungguhnya Ahlulbait tidak lepas dari syaetan yang memasukkan pada kami apa yang bukan dari kami, dan tidak pula dari ahli agama kami maka apabila seseorang membawanya dan memperhatikannya maka (darisanala) syaetan memerintahkannya (mengendalikannya) dan membohongi kami…

2) Hadits secara khusus

حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ قُولَوَيْهِ وَ الْحُسَيْنُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ بُنْدَارَ الْقُمِّيُّ، قَالا حَدَّثَنَا سَعْدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى بْنِ عُبَيْدٍ، عَنْ يُونُسَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَن…قَالَ يُونُسُ: وَافَيْتُ الْعِرَاقَ فَوَجَدْتُ بِهَا قِطْعَةً مِنْ أَصْحَابِ أَبِي جَعْفَرٍ (ع) وَ وَجَدْتُ أَصْحَابَ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ (ع) مُتَوَافِرِينَ فَسَمِعْتُ مِنْهُمْ وَ أَخَذْتُ كُتُبَهُمْ، فَعَرَضْتُهَا مِنْ بَعْدُ عَلَى أَبِي الْحَسَنِ الرِّضَا (ع) فَأَنْكَرَ مِنْهَا أَحَادِيثَ كَثِيرَةً أَنْ يَكُونَ مِنْ أَحَادِيثِ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ (ع) وَ قَالَ لِي: إِنَ‏ أَبَا الْخَطَّابِ‏ كَذَبَ‏ عَلَى أَبِي عَبْدِ اللَّهِ (ع) لَعَنَ اللَّهُ أَبَا الْخَطَّابِ! وَ كَذَلِكَ أَصْحَابُ أَبِي الْخَطَّابِ يَدُسُّونَ هَذِهِ الْأَحَادِيثَ إِلَى يَوْمِنَا هَذَا فِي كُتُبِ أَصْحَابِ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ (ع)
Telah berkata kepadaku Muhammad Ibn Qȗlawaih… berkata Yȗnus : ketika aku mendatangi (negeri) irak aku menemukan sepotong (kertas) dari sahabat Abu Ja’far as dan aku melihat banyak para sahabat Abu Abdillah as, maka aku mendengar dari mereka kitab (hadits) mereka maka aku mengadukannya ( kitab tersebut) setelahnya kepada Abu Al-hasan Ar-Ridha as, maka Imam as mengingkarinya banyak hadits-hadits yang dinisbatkan dari hadits-hadits Abu Abdillah as, kemudian berkata kepadaku : Sesunggunya Abu Al-khattab telah membohongi atasnama Abu Abdillah as laknatullah atas Abu Al-khattab, dan juga sahabat-sahabat Abu Al-khattab, memalsukan hadits-hadits ini sampai hari ini yang dinisbatkan kepada kitab-kitab Abu Abdillah as.

E. Adanya perujukan sebagian sahabat Imam as kepadanya untuk memeriksa kitab-kitab hadits.

فَقُلْتُ مَا الْخَبَرُ قَالَ قَدْ خُلِّيَ عَنْهُ، قَالَ بُورَقٌ: فَخَرَجْتُ إِلَى سُرَّ مَنْ رَأَى وَ مَعِي كِتَابُ يَوْمٍ وَ لَيْلَةٍ، فَدَخَلْتُ عَلَى أَبِي مُحَمَّدٍ (ع) وَ أَرَيْتُهُ ذَلِكَ الْكِتَابَ، فَقُلْتُ لَهُ: جُعِلْتُ فِدَاكَ إِنْ رَأَيْتَ أَنْ تَنْظُرَ فِيهِ! فَلَمَّا نَظَرَ فِيهِ وَ تَصَفَّحَهُ وَرَقَةً وَرَقَةً: وَ قَالَ: هَذَا صَحِيحٌ‏ يَنْبَغِي‏ أَنْ‏ يُعْمَلَ‏ بِه‏
Rijal alkesyi : Annash, 538

…Aku melihatnya kitab tersebut, maka aku mengatakannya kepada Imam as: jiwaku menjadi tebusanmu, bisakah anda melihat( memeriksa) kitabnya! Ketika Imam as sudah melihatnya dan memeriksanya halaman demi halaman, Imam as berkata :kitab ini sahih dan anda harus mengamalkannya.

Dari berbagai macam dalil diatas sebagai mukaddimah terlihat bahwa kebutuhan kita dalam melihat dan meneliti ketsiqahan para perawi sebagai sesuatu yang dharuri yang tidak lepas dari kebutuhan untuk mengungkap makna hadits, dalam hal ini para ulama meneliti sirah dan kehidupan para rawi tersebut untuk memastikan ketsiqahan mereka, baik ketsiqahan mereka dilihat dari nash Imam as secara langsung maupun dari jalur guru-guru mereka untuk mendapatkan keterangan dari orang yang sezaman dengan para perawi tersebut. Dalam hal ini terkumpullah penelitian ulama tersebut didalam kitab rijal hadits, dan untuk membandingkan satu dengan lainnya sebuah keterangan diperlukan adanya qaidah tertentu untuk memahaminya dalam ilmu rijal.

Tinggalkan komentar